Setiap bidang keilmuan pada dasarnya memiliki landasan konsep yang biasanya telah dipatenkan menjadi sebuah postulat. Kemudian berangkat dari hal tersebut dijabarkan berbagai konsep-konsep yang menjadi derivat dari konsep dasar tadi. Konsep dasar ini merupakan sesuatu yang sebenarnya bersifat meta-teori, artinya berbagai teori-teori mengenai suatu ilmu dibangun berdasarkan konsep yang diasumsikan aksiomatik tersebut.

Dalam ilmu sosial atau humaniora, maka konsep yang paling mendasar adalah konsep manusia itu sendiri, meskipun konsep tersebut tidak dibahas dalam ilmu sosial itu sendiri kecuali sebagai suatu postulat yang diterima. Oleh karena itu, konsep tentang manusia ini menjadi bahan kajian filsafat ilmu humaniora tersebut, yaitu yang membahas tentang suatu pernyataan paling mendasar tentang suatu ilmu tertentu.

Karena posisinya sebagai gagasan filosofis, maka konsep ini yang membentuk obyek formal suatu ilmu. Sedangkan obyek formal identik dengan framework atau paradigma keilmuan yang dengannya seorang ilmuan melihat suatu fenomena. Artinya konsep dalam tataran filosofis ini yang membentuk cara pandang seorang ilmuan secara utuh dalam melihat fenomena atau dunia ini secara keseluruhan. Artinya pada taraf tertentu suatu realitas yang dicerap oleh seseorang dibentuk oleh cara pandang ini.

Hal ini bukan berarti tidak ada realitas obyektif. Namun, karena pada dasarnya cara pandang seseorang itu dapat bercampur dengan asumsi (zhann) maupun delusi (wahm), maka fenomena yang ditangkap bisa jadi juga dikonstruksi oleh asumsi dan delusi tersebut. Kecuali seseorang yang meluruskan pandangannya (tawajjuh) sehingga bisa mengidentifikasi hakekat sesuatu (haqaiq al-asyya’) sebagaimana adanya sebagai suatu kenyataan yang tetap (tsabitah).

Permasalahan ini menjadi lebih parah tatkala konsep-konsep yang tercampur dengan asumsi dan delusi tersebut disampaikan atas nama ilmu pengetahuan yang bahkan diberikan predikat netral, bahwa konsep ini harus taken for granted sebagai suatu kenyataan yang tidak perlu lagi dipersoalkan. Artinya asumsi-asumsi yang bisa jadi berasal dari pengalaman sosial-kultural yang partikular dari seseorang atau suatu bangsa itu dianggap sebagai suatu ilmu yang pada dasarnya identik dengan kenyataan itu sendiri (muthabiq li al-waqi’).

Kenyataan ini dapat dilihat pada postulat dasar salah satu ilmu sosial, yaitu ekonomi. Ekonomi sebagai suatu ilmu yang mengkaji tentang perilaku manusia, maka ilmu ini telah mempostulasikan konsep manusianya sendiri yang disebut dengan Homo Economicus. Jenis manusia ini dicirikan dengan watak individualistis, hedonis dan materialistis. Menggambarkan seorang manusia bertujuan keuntungan (profit-oriented), pengejar uang (money-chasing animal), dan sangat sensitif terhadap uang (money sensitised).

Para ekonom dalam tulisan mereka mengenai textbook ilmu Ekonomi menerima konsep tersebut sebagai benar dengan sendirinya. Gregory Mankiw dalam Principle of Economics misalnya mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai usaha untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. T. Gilarso dalam bukunya Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro menyatakan bahwa manusia yang keinginannya ingin selalu dipenuhi merupakan suatu kenyataan yang diterima. Dimana pada saat yang sama sumber daya atau alat pemuas keinginan manusia tersebut terbatas, sehingga muncul permasalahan utama dalam ekonomi, yaitu kelangkaan (scarcity).

Konsep psikologis atas manusia ekonomi tersebut yang telah menjadi definisi paten atas ilmu ekonomi ini lahir dari fenomena sosial-kultural yang dialami oleh suatu bangsa pada suatu era, yakni dalam hal ini adalah era industri (industrial era). Pada era ini relasi antar manusia secara ekonomi pada dasarnya dipertemukan dalam pertukaran pada pasar (market exchange). Sebab watak manusia yang dipostulasikan itu bersifat individualistis, maka kompetisi merupakan konsekuensi psikologis dari konsep tersebut. Konsep ini yang kemudian disebarkan ke seluruh dunia dengan nama ‘ilmu’ Ekonomi.

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa konsep ini bukan suatu kenyataan yang bersifat alamiah (natural) sebagaimana adanya, namun merupakan konstruksi yang terbentuk dalam struktur suatu masyarakat modern yang merupakan pengalaman mereka. Tatkala konsep ini diajarkan sebagai ilmu, dan atas nama kemodernan dan kemajuan, maka konsep genuine dari berbagai kultur dan budaya mengalami peluruhan karena dianggap kuno, tradisional, dan primitif.

Hal tersebut dijelaskan secara gamblang oleh Karl Polanyi sang sejarawan, sosiolog, dan antropolog ekonomi yang juga mengkritik ekonomi berdasarkan pasar. Menurutnya ekonomi pra-industri bukan berdasarkan pada pertukaran dalam pasar, namun berdasarkan redistribusi dan resiprokalitas. Resiprokal disini dimaknai sebagai saling bertukar barang dan jasa sebagai bagian suatu hubungan sosial jangka panjang. Keputusan ekonomi dalam masyarakat ini bukan didasarkan pada keputusan individual, namun pada hubungan sosial, nilai kultur, pertimbangan moral, dan bahkan oleh agama.

Konsep relasi ekonomi antar manusia karena didasarkan pada hubungan resiprokal, maka hubungannya bersifat kerjasama (cooperation) bukan kompetensi (competition). Kewajiban sosio-kultural, norma, dan nilai sangat berperan penting dalam penghidupan masyarakat dalam konsep ekonomi ini sebagai suatu bagian dari ekonomi normatif. Analisis ekonomi yang berdiri sendiri diluar dari kenyataan sosio-kultural dan konteks politik itu cacat, sebab tidak melihat fenomena secara realistis.

Berangkat dari konsepsi ini, Asad Zaman seorang profesor bidang Ekonometrika hendak mengembalikan kembali studi kritis ilmu Ekonomi Islam dengan membedah kembali konsep-konsep dasar yang membentuk ilmu ekonomi kemudian melihat bagaimana konsep Islam secara mendasar menetapkan postulat bagaimana seharusnya ekonomi tersebut berdasarkan cara pandang Islam atasnya. Semua harus dimulai pada tataran filosofis, sebab hal itu merupakan pondasi dasar suatu ilmu.

Wallahu a’lam.

NSS.

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts