Ekonomi Islam atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah Ekonomi Syariah adalah suatu formulasi disiplin keilmuan yang masih tergolong baru, yakni sekitar tahun 1970-an. Disiplin ilmu ini merupakan bagian hasil dari usaha untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu kontemporer dengan nilai dan nuansa keislaman yang dikenal dengan Islamisasi Ilmu (Islamization of Knowledge) yang dipelopori oleh Prof. Ismail Faruqi (konon katanya mendapat ide dan istilah tersebut dari Prof. Naquib al-Attas).

Berdasarkan framework Islamisasi ini, maka Ekonomi Islam dimaknai sebagai suatu bentuk integrasi ilmu Ekonomi dengan nilai-nilai keislaman, dimana Ekonomi Islam sering diartikan secara sederhana sebagai ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Secara pengertian, menurut Hasan Raza, bahwa selama enam dekade ini belum ada unifikasi definisi yang disepakai para ahli tentang pengertian Ekonomi Islam. Memang hal ini bisa diakui bahwa untuk membuat definisi secara restriktif (Haddi) yang harus jami’ dan mani’ itu sangat sulit, kebanyakan para ahli hanya memberikan definisi secara deskriptif (Rasmi).

Diantaranya, menurut Umar Chapra: “That branch of knowledge which helps to realize human well-being through an allocation and distribution of scarce resources that is in conformity with Islamic teachings without unduly curbing individual freedom or creating continued macroeconomic and ecological imbalances.”

Demikian pula Monzer Kahf mendefinisikan: “Similarly, the “study of human behavior with regard to acquiring and using resources for the satisfaction of necessities, needs, and other desires,” but “based on the assumptions” of the Islamic “outlook on life and humanity”.

Juga definisi yang dikutip oleh Anas Zarqa: “The study of an … economy which abides by the rules of the Shariah”, i.e. an Islamic economy. Dalam ungkapan lainnya: “a discipline that is guided by the Shariah and studies all human societies”.

Beberapa definisi di atas menunjukan bahwa Ekonomi Islam berangkat dari Ilmu Ekonomi Konvensional namun berdasarkan perspektif Islam, bukan Ekonomi Islam itu sendiri, hal ini juga disinggung oleh Muhammad Nejatullah Siddiqi: “Islamic economics has been teaching “conventional economics from an Islamic perspective”, rather than Islamic economics.” Bahkan menurut Muhammad Akram Khan, bahwa tidak ada yang namanya Ekonomi Islam itu, ilmu ini tidak lain hanya narasi atas konsep Mu’amalah dengan menggunakan jargon Ekonomi Modern, hal ini nampak pada nuansa buku yang saya jadikan gambar utama.

Justru hal ini merupakan problem utama dalam Ekonomi Islam (yang menghasilkan problem-problem lainnya, seperti diskursus terlalu terfokus pada keuangan Islam, formulasi kurikulum yang kurang memadai, tenaga pengajar yang kurang lengkap kompetensi, serta institusi pendidikan yang salah orientasi, yang berimplikasi menghasilkan lulusan yang hanya menjadi roda gigi industri dan kepentingan birokrasi), yaitu belum adanya kejelasan konsep sehingga diskursus keilmuan terhadapnya tidak cukup terarah dan sistematis. Barangkali alasannya bahwa disiplin ilmu Ekonomi Islam ternyata terlalu menitikberatkan pada konsep-konsep Barat yang sejatinya memiliki pertentangan dengan konsep Islam secara mendasar. Artinya, belum terjadi yang namanya Islamisasi atas ilmu tersebut disebabkan nalar, asumsi, konsepsi, dan aksioma dasarnya ternyata masih berdasarkan pandangan alam Barat (Western Worldview).

Asad Zaman dalam hal ini menjelaskan bahwa kebingungan dalam menetapkan definisi yang berimplikasi pada perkembangan bidang studi ini disebabkan adanya usaha untuk menggabungkan Ekonomi Barat dengan nilai-nilai Islam (sebagaimana diketahui bahwa eksponen Ekonom Islam kalangan Mainstream yaitu IDB kebanyakkan lulusan ekonomi di berbagai universitas Barat) yang sebenarnya keduanya bertentangan secara diametral dalam berbagai dimensi. Beliau sendiri mencoba memberikan definisi yang mandiri berasal dari agama Islam, sebagai berikut: “Suatu usaha untuk mengimplementasikan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan urusan ekonomi skala individual (micro), dalam skala komunal (meso), dan pada skala global (macro).”

Mengenai hal ini Dr. Ugi Suharto seorang ahli ekonomi Malaysia asal Indonesia dan murid dari Prof. Naquib al-Attas dalam suatu kesempatan memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan Ekonomi Islam adalah: “An Economics from the religion of Islam, it’s worldview and it’s practices”, Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berasal dari agama Islam, beserta padangan alam dan prakteknya.

Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa Ekonomi Islam sebagai suatu madhhab dalam Ekonomi sepatutnya memiliki beberapa kriteria utama, diantaranya dasar falsafahnya, interpretasi fenomenanya, sistem, serta kebijakan ekonominya. Sedangkan dalam hal ini Ekonomi Islam memilikinya dan layak untuk dianggap sebagai salah satu madhhab Ekonomi diantara madhhab lainnya seperti madhhab klasik, Keynesian, neo-klasik, Monetaris, dan lain sebagainya.

Adapun Ekonomi Islam sebagai suatu ideologi pertengahan antara sistem Kapitalisme dan Sosialisme (Marxisme) diajukan oleh seorang pemikir kesohor asal Iran yang bernama Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dengan konsep Ekonomi yang dikenal dengan istilah Iqtishaduna (Our Economics) yang juga merupakan judul karya beliau dalam bidang Ekonomi. Menurut seorang ilmuan sosial bernama Olivier Roy, bahwa gerakan ideologis ini menjadikan hukum Islam sebagai bahan baku untuk menyusun secara mandiri bangunan ekonomi yang koheren dan berfungsi sebagai posisi pertengahan (middle ground) antara dua sistem ekonomi besar abad ke 20 yaitu Kapitalisme dan Marxisme.

Namun sayang, diskursus untuk pengembangan konsep Iqtishaduna ini sedikit mengalami hambatan disebabkan sikap antipati dunia Sunni yang notabene adalah mayoritas, apalagi sering dikompori oleh kalangan Wahabi mengenai berbagai kejelekan dan kesesatan Syi’ah beserta marja’nya. Sehingga apapun yang berasal dari hasil keilmuan seseorang yang dianggap berpaham Syi’ah dianggap tidak layak untuk dipakai oleh kalangan Sunni.

Melihat problem konseptual utamanya yang bersifat paradigmatik yang bermula pada tataran worldview, maka solusi utama yang ditawarkan adalah berkenaan dengan basis konseptual dari ilmu tersebut, setidaknya ini langkah re-evaluasi melihat perkembangan keilmuan Ekonomi Islam yang mengalami disorientasi sebagaimana yang diakui beberapa cendekiawan ekonomi Islam.

Tentu saja kontribusi peradaban Barat dalam formulasi ilmu Ekonomi tidak dapat kita abaikan, setidaknya ada tiga langkah utama yang perlu dilakukan, pertama yaitu negasi, yakni menghapus segala unsur-unsur yang bertentangan dengan agama Islam, mulai dari tararan worldview, hingga prakteknya, kedua, integrasi, yakni menggabungkan secara selektif berbagai konsep-konsepnya, dan ketiga kontribusi, sebagai kontribusi yang genuine yang berasal dari khazanah keilmuan Islam dalam mengembangkan ilmu Ekonomi Islam.

Merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui bahwa suatu skema konseptual sebuah ilmu dibangun atas beberapa asumsi mengenai realitas yang mendasari ilmu tersebut, dalam sains alam (natural science) Prof. Seyyed Hosein Nasr seorang pakar Filsafat Sains misalnya menjelaskan, asumsi yang dibangun terhadap realitas alam seperti ruang (space), waktu (time), materi (matter), gerak (motion), dan sebagainya dijadikan dasar konsep acuan sains dan menjadi faktor determinan mengenai sesuatu yang dianggap realitas sebenarnya tentang alam. Dimana asumsi ini bukan per se sebagai sains alam itu sendiri, namun worldview sebagai basis konseptual yang melatarbelakanginya.

Tentu asumsi dasar seperti ini lebih krusial lagi dalam ranah ilmu sosial (social science), dalam hal ini secara khusus adalah ekonomi. Berbagai asumsi tentang realitas psiko-sosio-ekonomi seperti kekayaan (wealth), kesejahteraan (prosperity), utilitas (utility), rasionalitas (rationality), kepemilikan (ownership), dan lain sebagainya itu dibangun oleh suatu cara pandang atau paradigma tertentu yang sepatutnya sangat perlu dikaji ulang kesesuaiannya dengan cara pandang Islam.

Adapun hal yang menjadi keunggulan dalam pengembangan ilmu Ekonomi Islam adalah adanya khazanah intelektual selama beberapa abad yang berasal dari peradaban Islam. Tentu suatu peradaban yang dapat bertahan ratusan tahun pasti mempunyai konsep atau sistem ekonomi tertentu yang cukup ideal dalam menopang (sustain) peradaban ini untuk tetap berjaya.

Memang tidak ada karya khusus tentang “Ekonomi” dalam pengertian sebagai ilmu kontemporer, namun banyak karya-karya para ulama yang memuat topik-topik Ekonomi, diantaranya misalnya adalah Kitab al-Kharraj karya al-Imam Abu Yusuf al-Qadhi murid al-Imam Abu Hanifah yang membahas tentang pajak (taxation), ada juga karya al-Imam Muhammad bin Hasan al-Shaibani yang juga merupakan murid al-Imam Abu Hanifah dan guru dari al-Imam al-Shafi’i, yaitu Kitab al-Kasb yang membahas tentang etos kerja.

Karya lain misalnya Adab al-Kasb wal al-Ma’ashi karya al-Imam al-Muhasibi (kalau tidak keliru), Ishlah al-Mal karya al-Imam Ibn Abi Dunya, al-Amwal karya Abu Ubaid bin Sallam, Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali yang terdapat pembahasan tentang Kasb (etos kerja), al-Hisbah fi al-Islam karya al-Imam Ibn Taimiyyah yang membahas tentang lembaga pengontrol pasar (regulator), Kitab al-Nuqud tentang mata uang (coinage) dan Ighathah al-Ummah bi Kasyf al-Ghummah tentang kebijakan moneter karya al-Imam al-Maqrizi, dan tentu saja ada karya al-Imam Ibn Khaldun yang dianggap beberapa pakar sebagai bapak ilmu ekonomi, yaitu al-Muqaddimah yang merupakan bagian dari karya besarnya al-Ibar yang kesemua ini sepatutnya dikaji secara mendalam oleh para pelajar dan cendekiawan Ekonomi.

Demikian renungan tentang problematika dan solusi sependek wawasan keilmuan saya yang sangat kurang, memang untuk menyelesaikan suatu permasalah keilmuan itu tidak mudah, mengutip seorang Muslim pakar Ekonometrika Dr. Asad Zaman, tentu harus melibatkan berbagai dimensi yang terkait dengannya dan dijalankan secara sistematis dan simultan.

Wallahu a’lam.

Nur Shadiq Sandimula, M.E

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts