Salah satu pembahasan utama dalam masalah ekonomi adalah tentang harta serta hubungannya dengan kepemilikan, kekayaan, dan kesejahteraan. Harta didefinisikan oleh para ulama sebagai sesuatu yang tabiat alamiah manusia cenderung padanya, dimana pengertian ini terambil dari asal makna kata yang digunakan oleh al-Qur’an untuk merujuk makna harta yang dalam bahasa Arab disebut dengan “al-Maal”. Kata ini dianggap berakar dari kata “mim ya’ lam” dengan bentuk pokok mashdar “maylan” yang bermakna condong dan cenderung.
Namun, jika dipetakan dari asal derivatifnya sebenarnya kata al-Maal berakar dari kata “mim waw lam” yakni “mawlan”, dengan melihat bentuk jamak dari kata al-Maal adalah al-Amwal yang bermakna harta benda atau barang (al-Badha’i’). Meski demikian para ahli memasukan manfaat yang sifatnya menetap (muabbadah) sebagai harta. Artinya harta tidak hanya terbatas pada benda fisik (a’yan), namun termasuk juga manfaat yang menetap (manafi’ muabbadah).
Al-Dimasyqi dalam kitabnya al-Isyarah ila Mahasin al-Tijarah mendefinisikan harta adalah sesuatu yang dimiliki baik berjumlah banyak atau sedikit, melimpah atau langka, serta receh atau mewah. Beliau kemudian mengklasifikasikan harta menjadi empat: Pertama barang sebagai alat tukar yang disebut dengan harta benda diam (al-maal al-shamit). Kedua, barang komoditas (al-‘ard). Ketiga, barang tidak bergerak (al-iqar) yang diklarifikasi menjadi dua, yaitu yang beratap (musaqqaf), dan tanah lapang (ghayr musaqqaf). Keempat, barang hidup (al-hayawan atau al-maal al-nathiq). Artinya harta dalam pengertian al-Dimasyqi hanya berkenaan dengan asset yang berbentuk fisik atau memiliki wujud konkrit (tangible asset), adapun asset yang tidak berbentuk fisik atau asset abstrak (intangible asset) maka tidak dikategorikan sebagai harta.
Hal ini bisa dimaklumi jika melihat konteks zaman Al-Dimasyqi hidup, dimana variasi obyek transaksi belum sebanyak era modern yang bahkan sudah masuk era digital, dimana obyek digital telah memiliki nilai harta (qimah maaliyyah) menurut urf masyarakat modern. Oleh karena al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menerangkan secara spesifik mengenai harta, maka pemahaman mengenainya dikembalikan pada kebiasaan (urfan) atau kesepakatan (taqlidan) manusia pada setiap zaman.
Dalam hal ini Ibn Abidin seorang ulama madhhab Hanafi mendefinisikan harta sebagai: “Apa saja yang dianggap manusia sebagai harta kepemilikan baik seluruhnya atau sebagiannya.” Yakni apa yang dianggap sebagai harta oleh manusia dengan sifat umumnya, maka dikategorikan sebagai harta kecuali apa yang menyelisihi Syariat. Sehingga konsep harta dapat dikembangkan secara luas dengan melihat konteks modern.
Dengan demikian secara terminologis, maka harta didefinisikan sebagai apa saja yang dianggap harta kepemilikan oleh manusia serta memiliki nilai dan kemanfaatan yang diperbolehkan oleh Syariat. Artinya harta dapat berwujud benda fisik (a’yan) atau manfaat yang menetap (manafi’ muabbadah), serta indikator penilaian sesuatu sebagai harta juga harus berdasarkan ketentuan Syariat, sehingga syarat penilaian dan kemanfaatannya tidak hanya didasarkan pada penerimaan manusia secara umum, namun juga harus diakui kebolehannya berdasarkan Syariat.
Hal-hal yang didapati di era modern misalnya seperti listrik, gas, ataupun pulsa pada hari ini dianggap sebagai harta yang bernilai, sedangkan sangat jauh jika harta ini dikategorikan sebagai benda (a’yan), disamping itu ia dapat diperjualbelikan, dan diakui nilainya di kalangan manusia. Maka, harta tidak hanya terbatas pada barang fisik (a’yan) namun dapat dikembangkan berdasarkan urf masyarakat pada zaman tertentu.
Harta berdasarkan pengertian asal adalah apa saja yang tabiat alamiah manusia cenderung padanya. Tabiat (al-thab’) disini dipahami sebagai kecenderungan jasadiah atau hayawaniyyah manusia, dimana al-Qur’an mensifati harta sebagai perhiasan duniawi (zinah hayat al-dunya) serta syahwat hewani (zuyyina li al-nas hubbu syahawat min al-amwaal). Zinah berupa harta (al-maal) dan juga tahta (al-jah) itu menurut al-Ishfahani dalam al-Mufradat termasuk kategori perhiasan lahiriah yang sifatnya luaran (zinah kharijiyyah).
Hal ini bermakna bahwa menurut kecenderungan nafsu hewani manusia, maka harta dianggap sebagai sesuatu yang diinginkan oleh kecenderungan nafsunya itu dan dilihat sebagai sesuatu yang baik untuk memperindah dirinya yang disebut dengan “zinah”. Sedangkan sesuatu disebut sebagai “zinah” itu bersifat relatif berdasarkan perspektif tabiat nafsu tadi, dimana manusia memiliki dualitas jiwa yaitu al-nafs al-nathiqah dan al-nafs al-hayawaniyyah, namun dalam hal ini harta dianggap sebagai “zinah” berdasarkan perspektif nafsu hewani (nafs hayawaniyyah) manusia.
Sehingga implikasinya bahwa akumulasi harta menjadi sesuatu yang dianggap baik menurut kecenderungan nafsu hewani manusia. Oleh sebabnya, melihat asumsi ekonomi modern yang mempostulasikan Manusia Ekonomi (Homo Economicus) adalah manusia yang memiliki watak pencari kekayaan material dan pengejar kepuasan lahiriah, maka pada hakekatnya konsep manusia ini menekankan pada sisi nafsu hewani manusia sebagai sisi kesejatiannya yang Islam sangat membatasi sesuatu yang disebut sebagai nafsu (al-nafs), syahwat (al-syahwah), dan kecenderungan (al-hawa) dari jiwa hewaninya itu.
Mufti Taqi al-Utsmani menjelaskan bahwa maksud daripada kecenderungan tabiat manusia adalah karena harta tersebut dapat dimanfaatkan, sedangkan sesuatu yang tidak bermanfaat tidak disebut sebagai harta. Penjelasan ini sekilas mendukung konsep kemanfaatan (utility) yang digagas oleh Jeremy Bentham. Namun masalahnya, asumsi kemanfaatan paham Utilitarianistik Benthamian adalah kemanfaatan pada sisi nafsu hewani (al-nafs al-hayawaniyyah) manusia, dimana maksimalisasi utilitas adalah kemanfaatan (benefit), keuntungan (adventage), kepuasan (pleasure), kebaikkan (good), dan kebahagiaan (happiness) pada sisi hewani manusia sebagai Manusia Ekonomi (Homo Economicus).
Sedangkan kesejatian manusia berdasarkan pandangan alam Islam (worldview of Islam) adalah pada sisi rasional manusia atau al-nafs al-nathiqah yang menganggap ilmu, dan keyakinan yang benar sebagai perhiasan (zinah nafsiyyah). Dimana keimanan dianggap sangat bernilai tinggi oleh al-nafs al-nathiqah berdasarkan hidayah dari Allah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: “Wa lakinn Allah habbab ilaykum al-iman wa zayyanahu fi qulubikum”. Hal ini menunjukkan mental manusia yang lebih condong pada al-nafs al-nathiqah adalah manusia yang berorientasi pada kekayaan jiwa daripada kekayaan harta, dari sinilah seharusnya konsep Manusia Ekonomi Islam bermula dalam menjalankan ekonomi untuk kemaslahatan bersama.
Wallahu a’lam.
NSS.
-
Previous Post
Pinjol dan Financial Empathy
-
Next Post
Bimbingan Teknis Penulisan Karya Ilmiah