Permasalahan terkait hutang kembali marak dibicarakan di kalangan masyarakat umum, terlebih di kalangan netizen di media sosial. Berbagai dampak psiko-sosial dari keterikatan pada hutang bermuara pada satu masalah utama, yaitu mentalitas konsumerisme yang menjadi wabah bagi masyarakat modern. Tragisnya perilaku ini dipupuk terus dalam struktur sosial yang memuja materi sebagai taraf kesejahteraan dan kepuasan tertinggi.
Tidak adanya self-dicipline membuat masyarakat bebas mengeksploitasi sisi hasrat materialistiknya yang kemudian menjadi wabah psiko-sosial yang disebut oleh Clive Hamilton dengan Affluenza. Epidemi sosial ini menyuburkan sikap konsumerisme di tengah-tengah masyarakat, terutama kalangan Milenials dan Gen-Z sebagai generasi muda yang memiliki privilese teknologi.
Berdasarkan data survei KataData tahun 2021, bahwa perilaku keuangan mayoritas Gen-Z cenderung lebih besar pada pengeluaran dibandingkan pendapatan. Sedangkan dalam data statistik OJK per Desember 2022, bahwa 62 % rekening dan 60 % pinjaman fintech P2P Lending dimiliki oleh nasabah dengan kisaran umur 19-34 tahun yang merupakan rentang umur Gen-Z dan Milenials. Artinya Gen-Z dan Milenials cenderung terperosok dalam “Debt Trap” yang marak saat ini yang umum dikenal dengan Pinjol.
Pinjol itu sendiri dari sisi legalitas ada dua yaitu legal dan illegal. Yang legal diidentifikasi dengan adanya pengawasan dari OJK serta skema pemberian pinjaman dan penagihan didasarkan pada operasional dan prosedur yang dibenarkan secara hukum. Berbeda dengan Pinjol illegal yang cenderung menggunakan manipulasi dan intimidasi dalam memberikan dan menagih pinjaman. Bunga pinjaman yang berlipat-lipat, serta melakukan pengancaman tatkala menarik pinjaman membuat pihak yang terjebak menjadi frustasi dan tidak jarang ada yang bunuh diri.
Sosialisasi atas literasi keuangan (financial literacy) kemudian menjadi penting agar masyarakat mampu melakukan perencanaan keuangan (financial planning) dengan baik. Penguatan dasar cashflow, pengaturan pinjaman, serta simpanan dana darurat, termasuk manajemen risiko harus diprioritaskan dan dijadikan dasar dalam perencaan keuangan, tahap ini disebut dengan keamanan finansial (financial security). Baru setelah itu melangkah pada pengaturan tujuan keuangan berupa dana masa depan seperti membeli rumah, pendidikan anak, budget liburan, dan sebagainya, termasuk pula dana pensiun nanti, tahap ini disebut dengan kenyamanan finansial (financial pleasurability).
Akan tetapi literasi keuangan tidak cukup untuk mengamankan perilaku psiko-sosial Gen-Z yang cenderung impulsif dalam mengikuti trend dan viralitas yang konsumeris-hedonis. Bahkan menurut Peter Flemming sang penulis buku The Death of Homo Economicus bahwa kecenderungan konsumtif berpengaruh pada perilaku kerja yang disebut dengan “suicidal work ethics (etos kerja bunuh diri)”. Perilaku ini ditandai dengan adanya perilaku mengejar target kerja secara berlebihan yang memberikan dampak negatif secara psikologis baik berupa depresi, stress, maupun anxiety.
Oleh karena itu, perlu ditanamkan pula kesadaran atas perilaku keuangan pelakunya yang disebut dengan empati keuangan (financial empathy). Aspek ini didasarkan pada perspektif etos keuangan yang biasanya bermuara pada ajaran etika keagamaan. Empati Keuangan adalah suatu sikap memahami (understanding), menyadari (aware of), merasa sensitif (being sensitive of), serta merasakan kondisi perasaan, pikiran, dan pengalaman diri sendiri maupun orang lain terkait keuangan.
Jika membuka lembar sejarah pemikiran ekonomi Islam, konsep ini sejatinya telah dibahas lama dalam tradisi keilmuan Islam, yang senantiasa melekatkan aspek etis dalam setiap aktivitas amaliah manusia, konsep ini -meminjam istilah Imam Ibn Abi Dunya dikenal dengan “Ishlah al-Maal” atau “Restoration of Wealth”.
Gagasan yang diangkat adalah konsep “qasd” yang dimaknai sebagai moderasi, kesederhanaan, dan kenyamanan mentalitas terhadap harta. Gagasan ini merupakan esensi utama dalam diskursus Ekonomi Islam yang sebenarnya yang disebut dengan “al-Iqtishad”. Perilaku empati atas harta ini diterapkan bahkan dalam taraf kebutuhan subsisten (needs) berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dana kelebihan tidak semerta-merta disalurkan pada pemenuhan keinginan (wants), apalagi yang bersifat konsumeris-hedonis, akan tetapi ditujukan untuk kemasalahatan umum (common good), mulai dari ranah domestik hingga publik.
Praktis perilaku berhutang serta menggunakan jasa Pinjol akan terminimalisir, sebab kecenderungan untuk memenuhi keinginan juga telah diminimalisir. Sebab seseorang yang akhirnya jatuh dalam jebakan hutang dengan Pinjol itu motifnya untuk memenuhi hasrat konsumerisnya, terbukti para pelakunya bertujuan untuk membeli barang/jasa konsumtif, yang dipupuk dengan perilaku sosial yang disebut Veblen sebagai “Emulative Consumption”, yaitu mengikuti dan meniru-niru gaya hidup sultan di media sosial. Perilaku ini yang menjangkit kalangan Gen-Z dan Milenials, mengacu pada data yang dirilis oleh OJK tahun 2023 dalam kategori pinjaman individu non-UMKM yang nilainya mencapai 30,44 Triliun (Tirto.Id).
Hal ini mengingatkan saya tentang kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang pernah kami dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Manado laksanakan tahun 2022 dengan mengambil tema tentang literasi keuangan dalam merespon maraknya Pinjol. Kasus umum tentang masalah ini dimulai dari pengaruh tren konsumeris dengan tujuan untuk menampakkan sikap gaya hidup santai dalam rangka menunjukkan status sosialnya yang semu, terutama di dunia maya.
Maka oleh karena itu, meskipun Pinjol itu telah dalam pengawasan OJK, tetap tidak disarankan untuk digunakan jika hanya untuk keperluan konsumtif. Apalagi teknik pemasaran Pinjol ini sering mengeksploitasi hasrat konsumtif masyarakat dengan ungkapan: “Ingin liburan tak punya uang?”, “ingin healing tak ada dana?”, “ingin shopping tak ada cuan?”, maka tidak cukup hanya dengan literasi keuangan. Oleh karena itu empati keuangan juga sangat penting disosialisasikan oleh para dai dan agawaman. Sebab rusaknya masyarakat tatkala mereka dipisahkan dari pihak otoritas ilmu tempat mereka bertanya, apalagi membuat mereka kehilangan ruh agamanya.
Nas’alullah al-afiyah wa al-salamah.
NSS.
-
Previous Post
Mawlid Al-Nabi Sebagai Adat
-
Next Post
Konsepsi Harta dalam Ekonomi Islam