Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa industrialisme yang lahir dari rahim peradaban Barat itu tidak selaras dengan nafas masyarakat Timur (India). Padahal tentu industrialisasi membawa jargon berupa kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan serta merupakan pra-syarat modernisasi yang harus diterima sebagai semangat zaman. Artinya jika tidak menerima modernisasi, suatu masyarakat akan dianggap kolot, terbelakang, dan tidak beradab.
Karl Polanyi sang pakar antropologi ekonomi menyatakan bahwa nalar ekonomi masyarakat modern yaitu ekonomi pasar (market economy) itu baru lahir pasca revolusi industri. Hal itu ditandai dengan kencenderungan individualistik masyarakat untuk bersaing dalam struktur ekonomi pasar. Sehingga kemudian pasar menjadi satu-satunya sektor ekonomi yang paling vital dan dianggap paling ideal dalam mengorganisir kegiatan ekonomi masyarakat.
Hal ini berkonsekuensi pada peluruhan ragam kultur dan budaya berekonomi masyarakat tradisional yang menurut Polanyi berwatak resiprokal (saling ketergantungan). Nilai ulayat dalam aspek kepemilikan, pengunaan, hingga pendistribusian kelimpahan sumber daya dipegang teguh bahkan pada setiap unit terkecil di masyarakat.
Salah satu karakteristik utama dari ekonomi tradisional adalah self-sustaining production, bahwa masyarakat merasa cukup dengan bergantung pada produksi mandiri untuk keperluan sehari-hari secara subsistensial. Praktis pasar tidak terlalu esensial dalam masyarakat ini. Kelebihan yang diperoleh pada umumnya didistribusikan kepada anggota masyarakat lain berdasarkan semangat resiprokalitas.
Industrialisasi dalam persaingan global memungkinkan adanya penguasaan pihak asing pada wilayah negara melalui penanaman modal maupun investasi. Dalam perspektif makro, kehadiran para investor asing dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negeri, di mana dengan masuknya modal baru, dapat digunakan untuk membiayai sektor-sektor yang kekurangan dana. Di samping itu, investasi asing juga dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana perhitungan kuantitatif, bahwa terdapat dampak sampingan dari adanya investasi asing terhadap masyarakat dalam negeri diantaranya terbengkalainya sektor pertanian sebagai keunggulan komparatif bangsa Indonesia, kerusakan lingkungan sebab eksternalitas negatif industri, berkurangnya lahan produktif yang boleh digunakan masyarakat, eksplorasi sumber daya alam secara berlebihan, dan hasil usaha lebih banyak dibawa ke negara asalnya.
Kasus pulau Rempang yang memunculkan konflik antar masyarakat dengan aparat pemerintah terkait relokasi desa merupakan imbas dari masuknya investasi asing. Dilansir dari CNN Indonesia dari pihak pemerintah mengklaim bahwa rencana pembangunan Rempang Eco City sudah mencuat sejak tahun 2004 bersama pihak swasta PT. Makmur Elok Graha. Investor asing yang berinvestasi di sini berasal dari China Xinyi Group dengan membangun industri kaca terbesar kedua di dunia pada kawasan ini.
Pemerintah mengaku bahwa kasus ini bukan penggusuran melainkan pengosongan lahan. Alasannya bahwa tanah tersebut memang telah diberikan haknya kepada investor namun belum kunjung digarap, sehingga ditempati oleh masyarakat, maka kemudian pada tahun 2022 investor hendak mengklaim haknya untuk menggunakan tanah tersebut dengan mengosongkan penduduknya. Akan tetapi masyarakat mengklaim bahwa tanah tersebut justru telah ditempati sejak tahun 1830-an, dan penggusuran yang dilakukan akan menyebabkan hilangnya jejak kebudayaan masyarakatnya.
Pro kontra dan saling klaim dapat menjadi tidak produktif jika tidak ada solusi yang disepakati. Kemudian pemerintah memberikan solusi alternatif bahwa tidak akan dilakukan relokasi, melainkan hanya peminggiran saja. Agaknya ini solusi yang tidak solutif, yang secara esensial tidak menafikan adanya penghapusan jejak kultural masyarakat ratusan tahun.
Di samping itu, dalam tata ruang, pembangunan industri di kawasan atau dekat pemukiman itu tidak ideal, sebab banyak eksternal negatif yang akan terdampak bagi masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, perusahaan akan mengambil 45,89 persen lahan Pulau Rempang untuk pembangunan industri tersebut.
Banyak sekali interpretasi atas motif dari pemerintah atas kasus ini. Namun sejatinya hal yang sangat penting untuk direnungkan bersama adalah apa sebenarnya esensi pembangunan negeri itu? Apa yang menjadi inti pembangunan nasional? Apa yang dimaksud dengan mewujudkan kemakmuran masyarakat melalui pengembangan ekonomi? Serta apa makna “partisipasi masyarakat” dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional?
Ada pihak yang mengklaim bahwa investasi itu memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Klaim ini perlu diperiksa, apa yang dimaksud dengan kesejahteraan? Apakah kesejahteraan itu bersifat jangka panjang? Apa konsekuensinya saat ini? Serta apakah kesejahteraan model seperti itu yang dinginkan masyarakat? Bagi masyarakat tradisional mencari penghidupan mandiri itu sudah cukup selebihnya adalah penguatan kelompok masyarakat.
Oleh karena itu tidak bijak menggunakan nalar industrialisasi untuk memahami pola pikir masyarakat tradisional. Bagi masyarakat kapitalis akumulasi kekayaan merupakan standar kemakmuran, sedangkan bagi masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi nilai kultural maka solidaritas kemasyarakatan menjadi standar kesejahteraan. Tentu yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana dengan masyarakat sebagai anak bangsa yang haknya wajib dilindungi oleh pemerintah.
Wallahu a’lam.
NSS
-
Next Post
TVRI Goes to FEBI