Pada umumnya, dalam pengajaran suatu disiplin ilmu, hal yang paling utama dan penting pertama kali untuk dijelaskan adalah berkenaan dengan pengertian atau definisi dari ilmu tersebut. Definisi dasar suatu biasa diklasifikasikan menjadi dua, yakni definisi secara etimologis (kebahasaan) dan terminologis (peristilahan). Demikian pula dalam mendefinisikan ilmu ekonomi. Istilah ekonomi secara etimologis itu berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu “oikos” yang berarti rumah tangga (household) dan “nomos” yang artinya aturan. Sedangkan secara terminologis, istilah ekonomi memiliki ragam definisi yang semuanya didasarkan pada cara pandang masing-masing ahli yang tentu berangkat dari konstruk pemikiran mereka. Namun pada umumnya, poin inti ekonomi adalah tentang “pengaturan terkait kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan mereka”. Pada kesempatan kali ini, pembahasannya adalah berkenaan dengan definisi etimologis dari ilmu ekonomi yang paling awal yaitu istilah Yunani “oikos-nomos” yang kemudian diadopsi oleh para cendekiawan muslim menjadi sebuah disiplin ilmu etika sosial yang disebut dengan “tadbir al-manzil” atau “al-hikmah al-manziliyyah”.

Salah satu tokoh muslim yang membahas konsep ini adalah al-Khawjah Nashir al-Din al-Thusi, seorang ilmuan polimath bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah yang dikenal sebagai salah satu eksponen terdepan madrasah Falasifah. Beliau menulis sebuah kitab tentang etika berbahasa Persia yang berjudul Akhlak Nasiri (The Nasirean Ethics). Dikatakan karya ini mengambil inspirasi dari karya Ibn Miskawayh yang berjudul Tahdzib al-Akhlak, namun beliau menambahkan pembahasan tentang ekonomi atau “tadbir al-manzil” di dalamnya. Al-Thusi menjelaskan bahwa “ekonomi” itu adalah ilmu tentang mengatur rumah (manzil), bahwa yang dimaksud dengan rumah di sini bukan bangunannya, melainkan unsur-unsur penopang dalam rumah, yakni pasangan suami istri, anak, pembantu, dan harta (makanan), yang dibangun untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah kelestarian spesiesnya (tabqiyyah al-naw’). Menurutnya tujuan aktivitas “ekonomi” adalah untuk mempertahankan eksistensi manusia, dan hal tersebut tentu didasarkan pada pemenuhan kebutuhan primer manusia yang utama, yakni makanan (ghidza’). Sedangkan untuk bisa mendapatkan makanan maka seseorang harus melakukan aktivitas bekerja yang pada taraf tertentu memerlukan keahlian (shina’ah) yang beragam. Dengan kata lain setiap orang saling bahu membahu dalam merealisasikannya.

Di sini al-Thusi juga sudah menjelaskan tentang konsep pembagian kerja (division of labour), bahwa untuk menghasilkan sebuah roti, maka diperlukan keahlian menanam, memetik, menyortir, menggiling, memfermentasi, dan memanggang. Beliau menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan bantuan dan pertolongan orang lain serta ragam alat bantu. Meski demikian, apa yang dikonsumsi manusia tidak seperti apa yang dikonsumsi oleh hewan yang sekali makan atau minum serta tersedia secara langsung di alam. Oleh karena itu, manusia memerlukan semacam tempat penyimpanan segala macam penopang kehidupan manusia, dari sini kemudian manusia membutuhkan rumah.
Rumah inipun perlu ada pihak yang diberikan amanah untuk menjaganya. Dari sini kemudian diperlukan adanya pasangan hidup yang diberi amanah untuk menjaga “kekayaan” sang kepala keluarga tatkala melakukan pencaharian di luar sana. Berdasarkan hal ini, memiliki seorang pasangan hidup juga merupakan sarana dari tujuan untuk melestarikan kehidupan manusia. Adanya pasangan hidup membuat manusia bisa melanjutkan keturunannya dengan memiliki anak, dimana pada saat bersamaan, merupakan kewajiban bagi kedua orangtuanya untuk mendidiknya agar bisa melanjutkan urusan-urusan orangtuanya di kemudian hari sebagai sebuah amanah untuk memastikan keberlanjutan generasi berikutnya.

Untuk membantu tugas orangtua, maka kemudian diperlukan adanya pembantu atau asisten rumah tangga. Ketersusunan dari struktur penghidupan dari semua bagian dalam kelompok ini merupakan pondasi (rukn) dari sebuah rumah (manzil). Rukun rumah tangga adalah ayah, ibu, anak, pembantu, dan makanan/harta. Dalam hal ini seorang ayah merupakan pemimpin atau pengatur atau menajer (mudabbir) rumah tangga secara umum yang akan memastikan kemaslahatan keluarga yang dipimpinnya. Hal tersebut mensyaratkan sebuah keahlian dan pada taraf tertentu sebuah kreativitas dalam membangun rumah tangga. Berdasarkan hal ini, al-Thusi kemudian mendefinisikan bahwa “ekonomi” yang merupakan seni dalam mengelola dan mengatur rumah tangga adalah kajian tentang keadaan penghuni rumah tangga dalam aspek pencapaian kemasalahatan umum dalam rangka memudahkan (memperoleh) sarana-sarana penghidupan serta pencapaian pada kesempurnaan yang dituntut dari sebuah masyarakat. Dengan kata lain, rumah tangga merupakan unit yang paling vital dalam sebuah masyarakat.

Menurutnya setiap orang, siapapun itu, membutuhkan semacam pengaturan (tanzhim) dan manajerial (tadbir) yang dengannya mereka memimpin kalangan yang dipimpin serta dibebankan tanggungjawab kepemimpinan. Hal tersebut selaras dengan sabda Nabi: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Menurut al-Thusi, seorang pemimpin harus memastikan “keseimbangan (i’tidal)” dalam tubuh rumah tangga. Ibarat seorang dokter yang memastikan “keseimbangan” unsur-unsur dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, seorang pemimpin rumah tangga harus benar-benar sadar dan mengetahui tentang “keseimbangan” yang seharusnya dicapai dalam sebuah rumah tangga. Hal ini mensyaratkan adanya ilmu dan pengetahuan tentang ilmu “tadbir al-manzil” tersebut. Beliau juga menambahkan bahwa, sebuah lingkungan eksternal juga sangat berperan penting, dalam hal ini adalah para tetangga. Hendaklah ia tidak bertetangga dengan orang-orang yang berperangai buruk dan rusak. Wajib pula baginya untuk tidak hidup dalam keliaran dan keterasingan. Tetangga yang mendukung tujuan rumah tangga sangat dianjurkan. Mengutip kisah tentang Plato yang ditanya mengapa dia memilih bertetangga disamping tukang pandai besi, dia menjawab: “jikalau rasa kantuk menguasai dan mencegahku dari aktivitas berpikir dan merenung, maka bising suara alat dari pandai besi dapat membangunkanku”.

Wallahu a’lam.
Nur Shadiq Sandimula, M.E

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts